Jumat, 30 November 2012

Tarekat Syattariyah dari Negeri Hindustan




Di Indonesia, terdapat banyak sekali aliran Tasawuf yang dikembangkan melalui tarekat. Pengurus Besar Nahdhatul Ulama [PBNU], melalui Jam'iyyah Ahlith-Thariqah Mu'tabarah An-Nahdhiyyah, mengakui bahwa ada 42 tarekat yang populer di Indonesia. Salah satunya adalah Tarekat Syattariyah. Tarekat Syattariyah pertama kali muncul di Hindustan [India] pada abad ke-15. Seperti tarekat lainnya, nama tarekat ini juga dinisbatkan pada tokoh yang menjadi pembawa atau pelopornya, yakni Syekh Abdullah asy-Syattar. Tarekat ini pernah menduduki posisi penting di dunia Islam, karena pengaruhnya yang besar dan mendapatkan sambutan luas dari masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia. John L Esposito, dalam Ensiklopedia: Dunia Islam Modern, menyatakan, meski di banyak negara Muslim ajaran yang dibawa oleh, Abdullah asy-Syattar dikenal dengan nama Tarekat Syattariyah; di beberapa tempat, seperti Iran dan kawasan Transoxania [Asia Tengah], ia lebih di kenal dengan nama lain. Di kedua wilayah ini, ajaran Abdullah asy-Syattar lebih dikenal dengan nama ''Isqiyah'' karena Abu Yazid al-Isqi dianggap sebagai tokoh utamanya. Sedangkan, di wilayah Turki Utsmaniyah [Kerajaan Ottoman], tarekat ini disebut ''Bistamiyah''. Dalam perkembangannya, Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari kelompok sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat yang berdiri sendiri dan memiliki karakteristik dalam hal keyakinan dan pengamalan. Sementara itu, mengenai Sang tokoh, yakni Abdullah asy-Syattar, hanya sedikit riwayat yang dapat diketahui. Dalam Ensklopedi Islam, disebutkan bahwa Abdullah asy-Syattar ini kemungkinan besar dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara [Samarkand]. Di sinilah, dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif. Namun, pada abad ke-15, populeritas Tarekat Isqiyah memudar karena perkembangan Tarekat Naqsayabandiyah yang berkembang sangat pesat di kawasan Asia Tengah. Karena itu Abdullah asy-Syattar memutuskan pindah ke India. Semula, ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota Muslim di daerah Malwa [Multan]. Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sinilah akhirnya dia memperoleh populeritas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah. Tidak diketahui, apakah perubahan nama dari Tarekat Isqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India atau atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya pada tahun 1428 M.

Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebar luaskan oleh murid-muridnya. Salah seorang murid yang berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior [wafat 1526 Masehi]. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syattariyah terus berkembang ke Makkah, Madinah dan sampai pula di Indonesia.

SUFI INDIA

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran Tarekat Syattariyah keberbagai negara Islam ditunjang oleh kemasyhuran oleh para sufi India, sehingga hal itu menimbulkan daya tarik yang besar. Sejak abad ke-16 M s/d 18 M, banyak sufi India menetap di Makkah, Madinah, Irak, Iran, Turki dan Asia Tengah dan Asia Tenggara. Mereka berhasil menyebarkan ide-ide dan ajaran-ajaran yang dianutnya. Di antara para sufi itu adalah pengikut dan penganjur Tarekat Syattariyah. Salah seorang sufi terkemuka dari India yang mengajarkan Tarekat Syattariyah di Makkah dan Madinah adalah Sibgatullah bin Ruhullah [wafat tahun 1606 M]. Sementara itu, yang mempopulerkan Tarekat Syattariyah di negara-negara yang menggunakan bahasa Arab adalah Ahmad Sinhawi [wafat 1619 M], murid Sibgatullah. Salah seorang khalifahnya adalah Ahmad Qusasyi [1583-1661 M] yang berasal dari Palestina. Adapun tokoh penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di Madinah adalah Ibrahim al-Kurani [wafat tahun 1689 M] yang berasal dari Turki. Ibrahim al-Kurani tampil menggantikan Ahmad Qusasyi sebagai pemimpin tertinggi Tarekat Syattariyah. Dua orang tokoh yang disebut terakhir diatas, Ahmad Qusasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru Abdul Rauf Singkel yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia.

AJARAN DAN DZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH

Bila menyebut ajaran sebuah tarekat, yang paling banyak diajarkan dalam ritualnya adalah dzikir. Dan dzikir adalah amalan yang paling utama dalam sebuah tarekat. Dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya dzikir akan menenangkan hati. Sebaik-baik dzikir adalah dengan membaca 'Laa Ilaha Illa Allah'."
Karena itulah dzikir dan wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjadi hal paling utama dalam sebuah tarekat. Demikian halnya dengan Tarekat Syattariyah. Dalam ajaran dan ritualnya, tarekat ini juga banyak melafalkan kalimat-kalimat tauhid dan Asmaul-Husna sebagai bagian dari wirid dan dzikir. Para pengikut Tarekat ini akan mencapai tujuan-tujuan mistik [kesufian] melalui kehidupan dan asketisme dan zuhud. Untuk menjalaninya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai tingkat kesempurnaan pada tingkat akhyar [orang-orang terpilih] serta menguasai rahasia-rahasia dzikir.

Tarekat Syattariyah percaya, bahwa jalan menuju Allah subhanahu wata'ala itu sebanyak gerak nafas makhluk, tetapi yang paling utama di antaranya adalah jalan yang ditempuh oleh kaum:
- Akhyar
- Abrar
- Syattar.
Ketiga kelompok tersebut memiliki metode masing-masing dalam berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan dan kedekatan terhadap Allah subhanahu wata'ala.

-Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat, puasa, membaca Al-Qur'an, menunaikan Haji dan berjihad.

- Kaum Abrar, menyibukkan diri dengan latihan-latihan jiwa dan latihan-latihan kehidupan zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan dan menyucikan hati.

- Kaum Syattar: Menurut para tokoh Tarekat Syattariyah, jalan tercepat untuk sampai kepada Allah subhanahu wata'ala, adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Syattar, karena mereka memperoleh bimbingan langsung oleh para wali.

Ada sepuluh tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan dalam tarekat ini, yaitu:

1. Taubat
2. Zuhud
3. Tawakkal
4. Qana'ah
5. Uzlah
6. Muraqabah
7. Sabar
8. Ridha
9. Dzikir
10. Musyahadah [menyaksikan keindahan, kebesaran dan kemulian Allah subhanahu wata'ala].

Dzikir dalam Tarekat Syattariyah terbagi dalam tiga kelompok yang semuanya menitik beratkan pada pelafalan Asmaul-Husna [nama-nama Allah subhanahu wata'ala]. Ketiga kelompok tersebut menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala yang berhubungan dengan keagungan-keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala yang berhubungan dengan keindahan-indahan-Nya, dan menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut. Para pengikut ajaran Tarekat Syattariyah meyakini bahwa menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala yang berhubungan dengan keagungan-keagungan-Nya, akan menjadikan seseorang lebih tunduk kepada-Nya.

Nama-nama yang dimaksud adalah:
- al-Qahhar
- al-Jabbar
- al-Mutakabbir
Setelah merasakan dirinya semakin tunduk kepada Allah subhanahu wata'ala, seseorang dapat menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan keindahan-keindahan-Nya, yaitu:
- al-Malik
- al-Quddus
- al-Alim.
Sedangkan nama-nama Allah yang berhubungan dengan sifat tersebut diatas adalah:
- al-Mukmin
- al-Muhaimin.
Runut dan diulang menurut aturan Tarekat Syattariyah, pelafalan dzikir dengan menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala harus dilakukan secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu menyebut nama-nama Allah subhanahu wata'ala yang berhubungan dengan keagungan-keagungan-Nya. Kemudian diikuti nama-nama yang berhubungan dengan keindahan-keindahan-Nya, dan nama-nama yang merupakan gabungan kedua sifat tersebut. Proses ini dilakukan terus menerus dan berulang-ulang hingga hati semakin bersih dan teguh dalam berdzikir. Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, ia dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.

Satu hal yang harus diingat adalah, bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang guru atau syekh, pembimbing spiritual yang telah mencapai pandangan yang tajam mengenai rahasia-rahasia dzikir. Pembimbing spiritual ini adalah seorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan realitas, tidak bersikap sombong dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan bathinnya kepada orang yang tidak dipercaya, untuk menjalani dzikir dalam Tarekat Syattariyah, setidaknya ada sejumlah persyaratan penting yang harus dipenuhi, yaitu makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal, selalu berkata benar, rendah hati, sedikit makan dan bicara serta setia kepada guru atau syekhnya. Selain itu, konsentrasi hanya berpusat kepada Allah subhanahu wata'ala:
- Selalu berpuasa.
- Memisahkan diri dari kehidupan ramai.
- Berdiam diri disuatu rungan yang gelap dan bersih.
- Menundukkan hawa nafsu dengan penuh kerelaan kepada disiplin penyiksaan diri.
- Makan dan minum dari pelayan.

Persyaratan lainnya, adalah:
- Menjaga mata dari melihat sesuatu yang haram.
- Menjaga telinga dari mendengar hal-hal yang haram.
- Menjaga hidung dari mencium suatu yang haram.
- Membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu dan bangga diri.
- Mematuhi aturan-aturan terlarang bagi seorang yang sedang menunaikan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian yang berjahit.

Dalam konteks psikologi, berbagai macam persyaratan ini dikenal sebagai bentuk aktualisasi diri [self actualizer] bagi murid atau seseorang yang meniti jalan ini.

Prof. Molana Hazrat Salaheddin Ali Nader Syah Angha, dalam tulisannya "Peace" menekankan bahwa ketika seorang salik mempelajari dan bertambah maju, ia secara bertahap mendapat nilai-nilai dan aspek-aspek yang telah digambarkan pada orang-orang yang telah menjadi self actualizer [aktualisasi diri]. Ia juga akan mengembangkan aspek tambahan lain dalam dirinya, yaitu karakteristik yang lebih maju, bahkan seorang salik yang progresif dapat digambarkan sebagai seorang 'super sehat' dalam jargon psikologi.
Prof. Angha juga menggambarkan, ketika seorang salik telah sepenuhnya telah memeluk apa yang tersebut diatas, ia akan meraih peringkat pada puncak pengabdian dan penghambaan; kata-kata dan tindakannya diperkuat dengan adanya cahaya Ilahi dan dia akan diberkahi. Karena menurutnya Allah subhanahu wata'ala telah berjanji sebagaimana firman-Nya:
"Allah pengurus bagi mereka yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pengurus mereka [ialah] thagut [syaitan dan apa-apa yang melewati batas] yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka, mereka itu kekal padanya." [QS. Al-Baqarah 257].

1 komentar: