Jumat, 30 November 2012

TAREKAT SYADZILIYAH





BISMILLAHI AR-RAHMAN AR-RAHIM

IBNU ATHAILLAH PERTAMA KALI MENGHIMPUN AJARAN SYADZILIYAH

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagian ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibnu Atha'illah as-Sakandari adalah orang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa-doa dan biografi keduanya sehingga khasanah Tarekat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibnu Atha'illah juga orang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tarekat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya bagi angkatan-angkatan setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibnu Atha'ilah, tarekat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghribi, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak di pakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk keshalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tarekat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagian ajaran tarekat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan asy-Syadzili kepada murid-muridnya: ''Seandainya kalian mengajukan suatu permohonan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali''.

Perkataan yang lainnya: ''Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya''.
Selain kedua kitab tersebut:
- al-Muhasibi,
- Khatam Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi,
- Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya an-Niffari,
- Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad,
- Ar-Risalah karya al-Qusyairi,
- Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibnu Atha'illah.

1. Ketaqwaan terhadap Allah subhanahu wata'ala lahir bathin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah subhanahu wata'ala.

2. Konsisten mengikuti Sunnah Rasululkah shallallahu 'alaihi wasallam, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

3. Berpaling [hatinya] dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah subhanahu wata'ala [Tawakkal].

4. Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan apa adanya [qana'ah/tidak rakus] dan menyerah.

5. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersykur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

1. Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat tinggi.

2. Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

3. Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya dan kemuliaan-Nya.

4. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

5. Menghargai [menjunjung tinggi] nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar. Selain itu tidak perduli sesuatu yang bakal terjadi [merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang] merupakan salah satu pandangan tarekat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibnu Athaillah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogatif Allah.

Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

IBNU ABBAD MENYIMPULKAN

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan hijriyah, Ibnu Abbad ar-Rundi [wafat tahun 790 H], salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: ''Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah kosong, dan mengikat diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalamkan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.''

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tarekat, secara umum pada pola dzikir tarekat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh dipusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-Asma al-Husna dalam tarekat ini, kebijaksanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi si pemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibnu Atha'illah beriku:
- Asma al-Latif: Yang Halus, harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian, bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya.
- Al-Wadud: Kekasih yang Dicintai, membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar.
- Asma al-Faiq: Yang Mengalahkan, sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

CIRI KHAS TAREKAT SYADZILIYAH

Tarekat Syadzaliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat dan pegawai negeri. Mungkin karena ke-khas-an yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tarekat-tarekat yang lainnya. Setiap anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tarekat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Ke-khas-an lainnya yang menonjol dari tarekat ini adalah: ''ketenangan'' yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya:
- Asy-Syadzili,
- Ibnu Atha'illah,
- Ibnu Abbad.

Annemarie Schimmel menyebutkan: ''Bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang dipacu oleh para anggota tarekat ini''.

Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulum ad-Din [Ulumuddin] karya al-Ghazali. Ciri ''ketenangan'' ini tentu saja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar. Di samping Ar-Risalahnya Abul Qasim al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tarekat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadziliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tarekat ini. Tidak berbeda dengan tradiri Timur Tengah, Martin menyebutkan, bahwa pengamalan tarekat ini di Indonesia dalam banyak hal lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif kurang, kalau memang pernah bertemu dengan yang lain. Dalam prakteknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangkaian-rangkaian doa yang panjang [hizb], dan diyakini kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tarekat ini mempelajari berbagai hizb, paling tidak idealnya, melalui pengajaran [talkin] yang diberikan oleh seorang guru yang berwenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tarekat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashar disamping Hizb al-Hafidzah, merupakan salah satu Hizb yang sangat terkenal dari asy-Syadzili. Menurut kabar, Hizb ini dikomunikasikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Hizb ini dinilai mempunyai kekuatan adi kodrati, yang terutama digunakan untuk melindungi diri selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, di mana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat ''dibeli'' dengan berpuasa atau pengekangan diri yang liangnya di bawah bimbingan guru. Hizb-hizb dalam tarekat Syadziliah di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tarekat lain untuk memohon perlindungan tambahan [Istighatsah], dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandeglang, yang dikaitkan dengan Tarekat Rifa'iyah, dan di Banten Utara yang dihubungkan dengan Tarekat Qadiriyah. Para ahli mengatakan bahwa hizb, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan doa megis yang Nama-nama Allah Yang Agung [Ism Allah A'zhim], dan apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supranatural.

Menyangkut pemakaian hizb, wirid dan doa, para syekh-sekh tarekat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizb-hizb [Azhab], dan wirid-wirid dalam tarelat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suara pelatihan dari sang guru.

PENYEBARAN TAREKAT SYADZILIYAH

Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tanzania Tengah, Srilangka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tarekat ini mempunyai beberapa cabang, yaitu:

- al-Qasimiyyah
- al-Madaniyyah
- al-Idrisiyyah
- as-Salamiyyah
- al-Handusiyyah
- al-Qauqajiyyah
- al-Faidiyyah
- al-Jauhariyyah
- al-Wafaiyyah
- al-Azmiyyah
- al-Hamidiyyah
- al-Faisiyyah
- al-Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosofi Tasawuf asy-Syadzili, justru kandungan makna hakiki dari Hizb-hizb itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tarekat Syadziliyah. Jadi tidak sekedar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
1. Penglihatan akan yang haq telah mewujudkan atasku, dan tidak akan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya, ''Jika engkau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara engkau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.'' Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

2. Aku dipesan oleh guruku [Abdus-Salam Ibn Masyisy radhiayallahu 'anhu: "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhaan Allah, dan jangan duduk di majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

3. Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha [ikhtiar] sendiri.

4. Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

5. Seorang arif adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

6. Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

7. Andaikan Allah membuka nur [cahaya] seorang mukmin yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagamanakah kiranya menjelaskan: "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah subhanahu wata'ala. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar