Jumat, 30 November 2012

TAREKAT QADIRIYAH




BISMILLAHI AR-RAHMANI AR-RAHIM

SEKILAS TAREKAT QADIRIYAH

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannus dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahannus dan Khalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut. Proses khalwat Nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali dan cucunya, radhiyallahu anhu. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani [Jaelani], sehingga tarekatnya dinamakan Qadiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jilani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dari Malaikat Jibril dari Allah subhanahu wata'ala.

PENDIRI TAREKAT QADIRIYAH

Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani [wafat 561 H/ 1166 M] yang bernama lengkap: Muhyi al-Din Abu Muhammad Abdul Qadir Ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jilani [Jaelani]. Lahir di Jilan tahun 470 H/ 1077 M dan wafat di Baghdad pada tahun 561 H/ 1166 M.
Dalam usia 18 [delapan belas] tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/ 1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah [sekolah] Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali [Hujjatul Islam Imam Ghazali]. Tetapi, Abdul Qadir Jilani tidak putus asa dan tetap berkeinginan menuntut ilmu, sehingga dia belajar pada beberapa orang ulama lain di Baghdad sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu al-Hamdany [440-535 H/ 1048-1148 M]. Pada tahun 521 H/ 1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua mazhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas.

Selama 25 tahun Abdul Qadir Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi dipadang pasir Irak dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab [552-593 H/ 1151-1196 M], diteruskan anaknya Abdul Salam [611 H/ 1214 M]. Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jilani, Abdul Razaq [528-603 H/ 1134-1206 M], sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/ 1258 M. Sejak itu Tarekat Qadiriyah terus berkembang dan berpusat di Irak dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke-15 M.
Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh [wafat tahun 1517 M] juga mengaku keterunan Abdul Qadir Jilani.
Di Turki oleh Ismail Rumi [wafat tahun 1041 H/ 1631 M] yang diberi gelar [mursyid kedua]. Sedangkan di Makkah, Tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak tahun 1180 H/ 1669 M.

MURID HARUS MANDIRI

Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jilany sendiri, ''Bahwa murid yang sudah mencapah derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.''
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19:
-Ghawtsiyah [1517 M].
-Junaidiyah [1515 M].
-Kamaliyah [1584 M].
-Miyan Khei [1550 M].
-Qumaishiyah [1584 M].
-Hayat al-Mir, semuanya di India.

Di Turki terdapat Tarekat:
-Hindiyah.
-Khulusiyah.
-Nawshahi
-Rumiyah [1631 M]
-Nabulsiyah,
-Waslatiyyah.

Dan di Yaman ada Tarekat:
-Ahdaliyah
-Asadiyah
-Mushariyyah
-'Urabiyyah
-Yafi'iyah [718-768 H/ 1316]
-Zayla'iyah.

Sedangkan di Afrika terdapat:
-Ammariyah
-Bakka'iyah
-Bu'Aliyya
-Manzaliyah
-Jilala.

Nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qadir Jilany. Jilala, dimasukkan dari Maroko Ke Spanyol dan di duga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M, dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala''.
Dari ketauladanan Nabi dan sahabat Ali radhiyallahu 'anhu dalam mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka Tarekat Qadiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridha dari Allah subhanahu wata'ala. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, serta yang tercela harus ditinggalkan.

DZIKIR TAREKAT QADIRIYAH

Qadiriyah dalam dzikirnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir ''Laa ilah Illa Allah'' dengan suara nyaring, keras [dhahir] yang disebut [nafi istbat] adalah contoh ucapan dzikir dari Syekh Abdul Qadir Jilani dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, hingga disebut Tarekat Qadiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu:
-Dhuhur
-Asar
-Maghrib
-Isya
-Subuh
diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih, lalu membaca shalawat tiga kali, Laa Ilaha Illa Allah 165 [seratus enam puluh lima] kali. Sedangkan diluar shalat agar berdzikir semampunya. Dalam mengucapkan lafadz ''Laa'' pada kalimat ''Laa Ilaha Illa Allah'' kita harus konsentrasi menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan ''Ilaha'' dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca ''Illa Allah'' kearah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti sedalam-dalamnya, hanyalah Allah subhanahu wata'ala tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tenang dan terhindar dari sifat-sifat dan perilaku yang tercela. Menurut ulama sufi [al-Futuham al-Rubaniyah], melalui tarekat Mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan dan karamah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khaththab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Al-Qur'an sahabat Abdullah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadits Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal Ibnu Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sahabat Zaid bin Tsabit, Ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'adz bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdur-Rahman bin A'uf dan sebagainya.

BAI'AT DALAM PENGAMALAN TAREKAT

Bai'at untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahapan:

Pertama: Adanya pertemuan guru [syekh dan murid. Murid mengerjakan shalat dua rakaat [sunnah muthalaq] lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz ''Laa Ilaha Illa Allah'' dan guru mengucapkan ''In fahnabina fhihi minka'' dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah [Qur'an Surah al-Fath 10]. Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid [Laa Ilaha Illa Allah] sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua: Tahap perjalanan, tahapan ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya [mujahadah-riyadhah] hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para Nabi dan Wali. Tarekat [thariqah] secara harfiah berarti ''jalan'' sama seperti syari'ah, sabil, shirah dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridha-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Al-Qur'an, seperti Qur'an Surah al-Jinn: ''Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan [thariqah] itu, niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air [kehidupan sejati] yang cukup.'' [QS. Al-Jinn 16].
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufiaan, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syari'ah untuk hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathiniah mengandung segi-segi ekslusif. Jadi, tak bisa di buat untuk orang orang umum [awam]. Segi-segi ekslusif tersebut, misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat ''rahasia'' yang bobot kerohaniyannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru [mursyid] dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin [tuntunan] dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.

SEJARAH TAREKAT QADIRIYAH DI INDONESIA

Qadiriyah di Indonesia seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah Tarekat Qadiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pengentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.

Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah.
Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qadiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajah Belanda. Seabagaimana diakui oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya ''Mystical Dimensions of Islam'' halaman 236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa di galang untuk menyusun kekuatan menandingi kekuatan lain.

Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat di landa pemberontakan, kaum petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak. Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang penjajah Belanda, karena pemberontakan itu di pimpin oleh para ulama. Dari hasil penyelidikan Belanda [Martin Van Bruneissen] menunjukkan, mereka adalah penganut Tarekat Qadiriyah, Syekh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH. Marzuki, yang memimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan.

Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dan pada tahun 1903, KH. Hasan Mukmin dari Sidoarjo Jawa Timur serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari Tarekat Qadiriyah adalah organisasi terbesar Islam Nahdlatul Ulama [NU] yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadiriyah, Naqsyabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia. Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan dan lain-lainnya.

Dalam kitab ''Miftahur Shudur'' yang di tulis KH. Ahmad Shahibulwafa Tadjul Arifin [Mbah Anom] di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah, Abdul Qadir Jilani dan Syekh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almarhum KH. Musthain Ramli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang, Jawa Timur, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35.
Bahwa beliau mendapat talqin [tuntunan] dan bai'at dari KH. Moh Kholil Rejoso Jombang, KH. Moh Kholil dari Syekh Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah [telah mempunyai ma'rifat kepada Allah] yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul-Lail.

Silsilahnya:
1. Muhammad Mustain Ramli
2. Usman Ishaq
3. Moh Ramli Tamim
4. Moh Kholil
5. Ahmad Hasbullah Ibnu Muhammad Madura
6. Abdul Karim
7. Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Gaffar
8. Syamsuddin
9. Moh Murod
10. Abdul Fattah
11. Kamaluddin
12. Usman
13. Abdurrahim
14. Abu Bakar
15. Yahya
16. Hisyamuddin
17. Waliyuddin
18. Nuruddin
19. Zainuddin
20. Syarafuddin
21. Syamsuddin
22. Moh Hattak
23. Syekh Abdul Qadir Jilani
24. Ibu Said al-Mubarak al-Mahzumi
25. Abu Hasan Ali al-Hakkari
26. Abul Faraj al-Thusi
27. Abdul Wahid al-Tamimi
28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli
29. Abul Qasim al-Junaid al-Baghdadi
30. Sarri as-Saqathi
31. Ma'ruf al-Karkhi
32. Abul Hasan Ali Ibnu Musa al-Ridha
33. Musa al-Kadzim
34. Ja'far Shadiq
35. Muhammad al-Baqir
36. Imam Zainal Abidin
37. Sayyidina Husein
38. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
39. Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
40. Sayyidina Jibril
41. Allah subhanahu wata'ala

Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang di sebut secara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar