Jumat, 30 November 2012

TAREKAT CHISYTIYYAH BERAWAL DI INDIA




BISMILLAHI AR-RAHMANI AR-RAHIM

CHISYTI PERNAH BERTEMU ABDUL QADIR JILANI

India negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film populer di Indonesia. Tapi, juga melahirkan Tarekat Chisytiyyah. Imam Tarekat Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu'inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia dijuluki:

- Nabi al-Hind [Nabi India]

- Gharib Nawaz [Penyantun orang-orang miskin]

- Khwaja-I-khwajagan [Imam segala Imam]

- Khwaja-I-Buzurg [Imam Agung]

- Atha' al-Rasul [Pemberian Rasul]

- Khwaja-I-Ajmeri [Wali dari Ajmer].

Chisyti, lahir pada 1142 M, atau sebagian ahli tarekat menyebutkan 1136 M, di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di Sanjar, India. Ia murid dari dan pengganti Khwaja Usman Haruni. Sesudah berbai'at selama 20 [dua puluh] tahun Chisyti hidup bersama:

- Syekh Najmuddin kubro

- Syekh Awhaduddin Kirmani

- Syekh Syihabuddin Suhrawardi

- Khwaja Yusuf Hamdani

Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qadir Jilani yang dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/ 1235 M, dan dimakamkan di Ajmer, India.

Dalam Tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah lebih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Senin dan Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Qur'an: ''...Maka ingatlah Allah di waktu kamu berdiri duduk dan berbaring,...'' [QS. Annisa 103].

Para Syekh Tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode dzikir berikut ini:

- Murid harus duduk bersila dan Menghadap kiblat

- Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu.

- Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya.

- Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya.

Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat, mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan dzikir jali [keras] atau khafi [diam].

Dalam Tarekat Chitysiyyah. Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam Tarekat Qadiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode pengamalannya adalah: Sang Dzakir [orang yang berdzikir] mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah [lantai]. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan ''Laa Ilaha'' ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sambil mengucapkan "Illallah" dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang penuh dengan makna keagungan dan kebesaran Allah subhanahu wata'ala. Sebagian orang mengucapkan "Laa Ilaha" dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat "Illallah". Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu [Dia - Yang Maha Esa] pada dada. Sang Dzakir [orang yan berdzikir] antara lain diperintahkan melakukan dzikir tiga ketukan: Dzikr-I-she-paaya. Ada tiga rukun dalam dzikir ini yaitu:

- Nama Allah

- Perenungan atas sifat-sifat-Nya [Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya]

- Adanya Perantara Sang Dzakir dengan memahami maknanya mengucapkan, Allaahu 'Alimun, Allaahu Bashirun, Allahu Sami'un.

Ini disebut nuzul atau tangga turun. Gerakan ganda ini di sebut sebuah daur atau sirkulasi, yakni sebuah dzikir yang terdiri atas 'uruj dan nuzul. Rahasia 'uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan. Karena menurut Chisyti dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami' lebih dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap keghaiban yang luas, ia pun menempatkan Bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap "keghaiban dalam keghaiban" yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan 'alim, dan kemudian ia kembali.

Dalam dzikir tiga ketukan ini, Sang Dzakir harus menahan nafasnya sedemikian rupa, sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, dzikir ini bisa diulangi sebanyak 40 [empat puluh] sampai 50 [lima puluh] kali. Ini dapat membantu menghangatkan hati, agar lemak di dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati dapat terbakar, sehingga Sang Dzakir diliputi cinta Allah dan fana [kesementaraan] diri dapat dikembangkan.

Selain itu, penganut Tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir Pas-I-anfas atau dzikir menjaga nafas sebagai berikut: Orang yang berdzikir mengucapkan "Laa Ilaha" dalam nafas yang dihembuskan, dan "Illallah" dalam nafas yang di hirup dengan lidah hati. Artinya penafian "Laa Ilaha" dilakukan ketika nafas keluar, dan penegasan "Illallah" dilakukan ketika nafas masuk. Selama keluar masuknya nafas ini pandangan di arahkan kepada pusar. Dzikir ini harus diulang-ulang agar pernafasan itu sendiri menjadi dzikir, baik di waktu sang dzakir tidur maupun dalam keadaan terbangun. Bahkan dzikir di bawah ini sangat efektif mengobati berbagai penyakit yaitu: Sang Dzakir memukul sisi dada sebelah kiri dengan Ya Ahad [Wahai Yang Maha Esa], dan memukul sisi dada sebelah kanan dengan Ya Shamad [Wahai Dzat Tempat Meminta], dan Ya Witr [Wahai Yang Maha Ganjil] pada hati.

Para sufi terkemuka berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud bathiniahnya bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlah sebuah hubungan antara dirinya dengan alam rohani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat Dzat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan bathin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual bathiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan bathiniah.

Konteplasi yang ditetapkan sufi Chisytiyyah:

1. Konteplasi atas nama diri Allah; Sang Penempuh jalan spiritual pergi ke suatu tempat terpencil dan merenungkan bahwa kata Allah tertulis dengan tinta emas dalam hatinya, bahwa ia tengah membaca dengan penuh gairah dan semangat, dan berada di hadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu, sehingga kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri.

2. Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang Penempuh jalan spiritual mestinya berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa Allah bersamanya dan melihatnya.

3. Kontemplasi Nashirah; Sang Penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bagian hitam matanya sama sekali hilang [tidak terlihat], dan yang tinggal hanya bagian putihnya. Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat dirinya. Berbagai perasaan munafik bisa dihilangkan dengan konteplasi ini serta kedamaian bisa diraihnya.

4. Konteplasi Mahmudah; Dengan mebuka matanya dan mengarahkan pandangannya ketengah-tengah alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah.

5. Konteplasi Aku tidak ada yang ada hanya Allah: Dilakukan dengan Dia dan merenungkan hanya untuk Allah.

6. Konteplasi Mi'raj al-Arifin [kenaikan kaum ma'rifat], disini mesti menyadari bahwa segenap wujud yang bersifat mungkin, bagaikan cermin dan segenap capaian mereka yang bersifat material maupun spiritual didalamnya tidak lain keculi cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wata'ala. Seseorang mesti membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap nama dan sifat-sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah [ahl musyahadah].

7. Kontemplasi pendekatan [muqarabah], penyaksiaan [musyahadah], pengawasan [mu'ayanah]; Seseorang duduk seperti shalat, bersama gurunya [syekhnya] merenungkan alim, sami, bashir [Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat]. Kemudian mengarahkan pandangannya kehati, lalu menutupnya. Dan lalu melihat hatinya dengan mata bathin dan berpikir ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian menengadahkan tangannya ke langit dan tetap membukanya. Lalu ia membayangkan bahwa rohnya telah meninggalkan tubuhnya, dan sambil menembus langit ia menyaksiaka Allah secara bertatap muka.

8. Kontenplasi atas ayat al-Qur'an: "Tidakkah engkau melihat Tuhanmu". [QS. Al-Furqan 45]. Sesudah merenungkan hal ini, seseorang yang mengalami ekstase [puncak spiritual], mengungkapkan keadaan mentalnya dalam bait syair:

Engkaulah yang kucari,
wahai kekasih-Ku!
Kemanapun kuedarkan pandangan, yang kucari hanya diri-Mu!

Mataku bermaksud mencari-Mu semata
Doa ungkapan Diri-Mu kepadaku,
siapa pun yang kulihat!

Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu,
jendela mana saja yang kubuka,
tujuanku hanya Diri-Mu!

Kematianlah jika aku tak melihat-Mu,
jauh lebih baik memandang-Mu dari pada mati!

Kaum sufi dalan Tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah:

1. "Kemana pun engkau hadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah". [QS. Al-Baqarah 115].

2. "Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya". [QS. Qaf 16].

3. "Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu, tetapi kamu tidak melihat". [QS. Al-Waqi'ah 85].

4. "...Dia bersamamu dimanapun kamu berada...". [QS. Al-Hadid 4].

5. "Dan juga dalam dirimu, apakah kamu tidak perhatikan?". [QS. Adz-Dzariyaat 21].
Dan lain sebagainya.

Syekh Kalimullah, adalah syekh yang berkedudukan tinggi dalam Tarekat Chisytiyyah. Ia adalah khalifah dan murid Syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada tahun 1060 H/ 1460 M, dan wafat pada tahun 1142 H/ 1720 M. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar