Jumat, 30 November 2012

TAREKAT TIJANIYAH




BISMILLAHI AR-RAHMANI AR-RAHIM

Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani [1737-1815 M], salah seorang tokoh dari gerakan ''Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan roh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150 H/ 1737 M, di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal Al-Qur'an dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun.

Pada tahun 1176 Hijriyah, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181 Hijriyah, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Pada tahun 1186 H [1772-1773 M], dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya adalah:

- Qadiriyah
- Thaibiyah
- Khalwatiyah
- Sammaniyah

Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia bathin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, di menuju ke Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana.

Pada tahun 1196 H [1781-1782 M], atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalnya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan Tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham [kasyf]. Dalam kasyf-nya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya dan memberi-tahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat manapun. Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan dengan tarekat. Bahkan di beri izin untuk mendirikan tarekat sendiri disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan masing-masing 100 kali.

Setelah kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otoritas Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir [1200 H/ 1786 M]. Dalam kasyf ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka.

Pada tahun 1213 H/ 1798 M, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fez. Di kota ini dia di terima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam usia 80 tahun. Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam Khalwatiyah [at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah], tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyaknya berbeda dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melintas jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan bai'at 'ahad kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya.

Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam diri manusia, dan oleh karenanya tidak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus. Lagi pula, bagaimana munkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga sedang menempuh [mengambil] jalan lain? Sejak tinggal di kota Fez ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri. Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.

Semula tareka yang di pimpin at-Tijani ini mendapakan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh.

Tarekat ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afrika Barat, Mesir, dan Sudan. Aktivitas gerakan Tarekat Tijaniyyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut Tarekat Qadiriyah dan Syadziliyah para murid tarekat ini berjasa menyebar-luaskan Islam keberbagai kawasan Afrika.

Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat.
Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim pertama yang secara terbuka menentang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.

Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai'at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana. Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.

Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu di picu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh Al-Qur'an sebanyak 1.000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah di minta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh yang lain di anggap sebagai praktek pembodohan.

Meski demikian, tarekat ini terus berkembang, terutama di Cirebon dan Garut, Jawa Barat, Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdhiyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini, bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.

Sepanjang tahun 80-an tarekat ini mengalami perkambangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang di capai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati dikalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah. Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutnya untuk berafiliasi lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya.

AJARAN DAN DZIKIR TAREKAT TIJANIYAH

Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekanya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya:

- Jawahir al-Ma'ani wa Biligh al-Amani fi Faidhi asy-Syekh at-Tijani,

- Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a at-Tijani min al-Ahzab,

- As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani.

Dua kitab yang di sebut pertama di tulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan di pakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.

Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan hari tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali [perantara] tersebut. At-Tijani sangat sangat menekankan perlunya perantara [wali] antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya di mulai dengan, ''Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara sarana untuk penyatuan dengan Allah''.

Dalam hal ini, perantara itu tidak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh dengan tenang.

Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, syalawat dan Tahlil masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari:

- Istighfar [astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al-hayyu al-qayyum] sebanyak 30 kali,

- Shalawat Fatih [Allahummashalli 'ala Sayyidina Muhammad al-fatih limaughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqq aqadruhu wa miqdaruh al-adzim] sebanyak 50 kali.

- Tahlil [Laa Ilaha Illallah] sebanyak 100 kali,

- Ditutup dengan doa jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.

Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdhal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari jumat membaca Hayhala, terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam.

Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah:

- Berwudhu

- Bersih badan, pakaian dan tempat,

- Menutup aurat,

- Tidak boleh berbicara,

- Berniat yang tegas,

- Menghadap kiblat.

Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitik beratkan pada penyatuan dengan roh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bukan penyatuan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan ath-Thariqah al-Muhammadiyyah atau ath-Thariqah al-Ahmadiyah, temanya merujuk langsung kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktek mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolak atas ajaran esoterik, terutama ekstatik dan metafisis sufi.

Berikut petikan dari kitab As-Sirr al-Abrar, Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:

"Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan aurad, sebab hal [aurad] itu adalah karya Tuhannya manusia.
Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah.
Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam aurad, supaya Anda dapat berhubungan baik dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari aurad lain manapun selain dari syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda.
Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus.
Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik [Nabi shallallahu alaihi wasallam].
Anda harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk penyatuan; dan jangan berpikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda di larang untuk memfitnah atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda.
Anda di larang berhenti untuk melantungkan aurad selama hidup Anda, sebab aurad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda di larang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.
Jangan melantungkan wirid syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan [talqin] yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu.
Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jumat dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syaitan.
Anda di larang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi [pelantunan yang dilakukan oleh] siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syaitan.
Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur.
Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk melakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda di larang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual".

Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Aurad Fathiyyah milik Hamdaniyah, dan lain-lain. Ciri-ciri khusus dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal.

Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah memerintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri. Meskipun pendek doa itu dengan mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, di jamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6.000 [enam ribu] kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun panjang, yang pernah di baca di alam raya. Orang yang membacanya sepuluh kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar di banding yang patut di terima oleh sang wali yang hidup selama sepuluh ribu tahun, tetapi tidak pernah mengucapkannya, sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah setara dengan pahala dua kali lipat, yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.

Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri kepada at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi shallallahu alaihi wasallam beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat di lihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari dihadapan orang yang disukainya.

Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah pernyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam ini kepadanya. Sebab jika Nabi shallallahu alaihi wasallam secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah "wafat" tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran [kufur].

Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat Tijaniyah ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian [syari'at], dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tidak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?. Wallahu A'lam bish-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar