Jumat, 30 November 2012

Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah [2-Habis]




Peran Politik

Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi, dirikan Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara Afganistan hingga pembentukan negara pasca komunis pertama pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiayah dari berbagai keturunan menonjol dalam perlawanannya terhadap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut Naqsyabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ikhsan [Dukchi Ikhsan]. Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan Cina di Xin Jing pada tahun 1863 dan di Shanxi serta Guansu antara tahun 1862 dan 1873. Ciri khas yang ditunjukkan oleh kelompok Naqsyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern, terutama di Turki. Namun di Turki perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif [kecuali pemberontakan Sa'id]. Penggambaran peristiwa Menemen tahun 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As'ad [Mehmed Esad] dihukum mati secara adil, sekarang diragukan. Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan dan intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu [wafat tahun 1984], pengganti Syekh Muhammad As'ad. Mehmed Zahid Koktu [wafat tahun 1980], keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan dan Resit Erol [wafat tahun 1994]. Kegiatan mengajar para syekh ini beserta para sekh lainnya secara alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan teqhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol dipemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada tahun 1993. Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini. Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tanah'' di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah dipermukaan.

Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah

Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, ''jalan'' atau ''marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan ''jalan" tadi. Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaru menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

Asas-asas Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh, Abdul Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyabandi. Asas-asas ini disebutkan satu persatu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jamial-'Ushul fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Aminal-Kurdi, dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya [''Kakek'' spiritual dari Yusuf al-Makassari] sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi [bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India]. Asas-asasnya Abdul al-Khaliq adalah:

1. Hush dar dam, ''Sadar sewaktu bernafas''. Suatu latihan konsenstrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah [al-Kurdi].

2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah''. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan [rohani]-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.

3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan bathin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah ''Gumusykhanawi''].

4. Khalwat dar anjuman: "Sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam-macam penafsiran, beberapa dekat pada konsep ''innerweltiche Aksese'' dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepi, seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai ''menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang''; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan [dan mungkin dirangsang] dengan mengacu kepada asas ini.

5. Yad kard: "ingat - menyebut''. Terus menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid [berisi formula Laa Ilaha Illallah], atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus menerus agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.

6. Baz gasyt: "kembali - memperbarui''. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang [melantur], sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula Ilahi anta waridlaka mathlubi [Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mulah yang kuharapkan]. Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.

7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru [anonim]: "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.''

8. Yad dasyt: " mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi; secara langsung menangkap Dzat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Maha Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat rohani tertinggi yang bisa dicapai.

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang''. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. [Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam]. Jika seseorang secara terus menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterima kasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.

2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang''. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir [tanpa pikirannya mengembara kemana-mana]. Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Wuquf-i qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol''. Dengan membayangkan hati seseorang [yang didalamnya secara bathin dzikir ditempatkan] berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya.

Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir diatasnya.

Dzikir dan wirid tekhnik dasar Tarekat Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya adalah dzikir yang berulang-ulang menyebut nama Tuhan atau menyatakan kalimat Laa Ilaha Illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang langsung dan permanen. Pertama sekali Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam [Khafi': "Tersembunyi" atau Qalbi "dalam hati"], sebagai lawan dari dzikir keras [dhahri] yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan lain. Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah walaupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat dengan seorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan dimana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam jumat dan malam selasa; di tempat lain dilaksanakan ditengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi. Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, biasanya keduanya diamalkan dalam pertemuan yang sama, adalah:
- Dzikir 'ism al-dzat, "mengingat yang hakiki".
- Dzikir Tauhid, "mengingat keesaan".
Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah yang berulang-ulang dalam hati, ribuan kali [dihitung dengan tasbih] sambil memusatkan perhatian hanya kepada Tuhan semata. Dzikir tauhid [juga dzikir tahlil atau nafty wa itsbath] terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat Laa Ilaha Illallah] yang dibayangkan seperti menggambar jalan [garis] melalui tubuh. Bunyi "La" permulaan di gambar dari daerah pusar terus kehati sampai keubun-ubun. Bunyi "Ilaha" turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Disitu, kata berikutnya "illa" dimulai turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan kearah jantung inilah kata Allah dihujamkan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para penganut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha'if. Dengan dzikir ini orang memusatkan kesadarannya [dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas] berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah [jamak latha'if], adalah qalb [hati], terletak selebar dua jari dibawah puting susu kiri; roh [jiwa], selebar dua jari diatas susu kanan; sirr [nurani terdalam], selebar dua jari diatas puting susu kanan; khafi [kedalaman tersembunyi], dua jari diatas susu kanan; akhfa [kedalaman paling tersembunyi], ditengah dada; nafs nathiqah [akal budi], di otak, belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebenarnya tidak merupakan titik, tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah tingkat terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep Latha'if --dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya-- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja, tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual. Ternyata latha'if pun persis serupa dengan sistem cakra dalam teori yoga. Memang, titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja. Asal usul ketiga dzikir ini sulit untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan pada zamannya, atau mungkin lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah Asia Tengah sebenarnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi. Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad [Indonesia: wirid], meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad [wirid] merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercaya akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan mamfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia [diam-diam] dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah ditempat lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai al-Aurad al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamdani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar