Jumat, 30 November 2012

SISTEM BERMADZHAB ALA ASWAJA


SISTEM BERMADZHAB ALA ASWAJA

I.    PENDAHULUAN
Konsep madzhab yang dicetuskan oleh para mujathid, ternyata masih menuai protes dari sebagian kecil kalangan umat Islam. Hal ini tidak bias dianggap sepele. Buktinya masih banyak kaum Aswaja yang mempersoalkan esensi pengambilan dasar hokum Islam dengan Ro’yu (akal). Padahal didalam konsep Madzhab, akal menempati posisi keempat dari empat sumber hokum Islam, yakni al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan terahir Qiyas.
Oleh karena itu, wacana menomor wahidkan akal dalam pengambilan dasar hokum Islam yang tanpa dilandasi tiga sumber hokum sebelumnya adalah sesat dan harus diluruskan.

II.    PEMBAHASAN
Dalam menyelasaikan persoalan hukum, golongan ASWAJA berpedoman pada al-Qur’an dan hadist sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang menjadi rujukan setiap muslim dalam mengambil suatu keputusan hukum, imam al-Syafi’I dalam kitabnya al-Risalah menegaskan ; “ Seseorang tidak boleh mengatakan itu halal atau haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, Hadist, Ijma’ atau qiyas”. ( Imam al-Syafi’I, al-Risalah, Hal.36).
Pedoman dipetik dari firman Allah SWT ;





“ wahai orang – orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil Amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalillah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu benar – benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya”. (QS. Al-Nisa’: 59).
Menjelaskan ayat ini, Syeh Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa, “ Perintah untuk ta’at kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadist. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil Amri, adalah anjuran untuk mengikuti hukum – hukum yang telah disepakati (Ijma’)oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti Qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan al-Hadist) dan Ijma’. (Abdul Wahhab Khallaf ‘Ilm Ushul al- Fiqh, Hal.21).
Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Artinya, yang pertama kali haruis dilihat adalah al-Qur’an. Kemudian meneliti hadist Nabi SAW. Jika tidak ada, maka melihat Ijma’ ulama’. Dan yang terahir adalah menggunakan qiyas para Fuqaha’.
Herarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali Bin Muhammad al-Amidi (551 – 631 H / 1156 – 1233 M) menjelaskan dalam kitabnya al-Hikam Fi Ushul al-Ahkam bahwa yang asal dalam dalil syar’I adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur’an. Dan sesudah itu adalah Ijma’, karena Ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang terahir adalah Qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash (al-Quran dan al-Sunnah) dan Ijma’.( al-Amidi, al-Hikam Fi Ushul al-Hakam, Juz 1, Hal. 208).
Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan Hadist. Masih ada Ijma’ dan Qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Qur’an dan Hadist sebagi rujukan dalil utama.


Al- Qur’an
Al-Qur’an adalah;






“ Al-Qur’an adalah lafazh yangditurunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dengan satu surat saja dan merupakan ibadah apabila membacanya”. ( al-Suyuthi, al –Kawkab al-Sathi’, Juz 1, Hal.69).
Allah SWT menjamin bahwa al-Qur’an terjaga dari berbagai upaya tangan – tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Sebagai firman Allah SWT ;



“ Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya.” ( QS.al-Hijr : 9 ).
Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan methode ilmiah oleh para ahli filologi ( ahli tentang manuskrip) dunia.Dr Muhammad Musthafa al-A’jami mengutip keerangan dari Prof. Hamidullah ; “ Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang ini Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pasda saya bahwa mereka telah mengumpulkan 42.000 salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap senagian lainnya berupa fragnen – fragmen, sebagian asli, kebanyakan yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apoakah ada fariasinya ( perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia II, sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi ternyata tidak terdapat fariasinya ( tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini terkena bom dan semuanya binasa, Direktur,personalia dan perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, Hal.57).


Al-Sunnah
Sumber Islam yang kedua adalah al-Sunnah, yakni ;



“ Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi SAW”.(al-Manhal al-Latif Fi Ushul al-hadist al-syafi’I, Hal.51).
Sunnah terbagi menjadi tiga, yakni :
1.    Sunnah Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi SAW yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah).
2.    Sunnah Fi’liyyah. Yakni semua perbuatan Nabi SAW yang terkait dengan hukum, seperti tat cara shalat yang beliau kerjakan.
3.    Sunnah taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi SAW atas apa yang diperbuat oleh para sahabat, sperti pengakuan Nabi SAW pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Hal.105).

Kitab – kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali, namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standart. Karena itulah para ulama’ membagi kitab – kitab hadist pada empat tingkatan besar.
1.    Kitab – kitab yang hanya memuat hadist mutawattir, hadist shahih yang ahad (tidak sampai pada tingkatan mutawattir), karena diriwayatkan sedikit orang, serta hadist hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan shahih Muslim serta kitab al-Muwaththa’ karangan imam Malik.
2.    Kitab- kitab yang muatan hadistnya tidak pada tingkatan hadist pertama. Yaitu kitab- kitab yang ditulis oleh orang – orang yang diyakini tidak mudah memasukkan semabarang hadist dalam kitab- kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadist yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if. Misalnya  adalah Jami’ al-Tirmidzi, Sunan Abi dawud, Musnad Ahmad Bin hanbal dan Mujtaba’ al-Nasa’i.
3.    Kitab hadist yang banyak memuat hadist dha’if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya,  apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, al-Thahawi dan Mushannif Abdurrozzaq.
4.    Kitab – kitab yang banyak mengandung hadits dha’if sepertikitab hadist karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dll. Jenis ke empat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang – orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya.(Dr. Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, Hal.116 – 117).

Salah satu keistimewaan hadits Nabi SAW adalah bahwa hadits Nabi SAW telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar – pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bias dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnianya hadits Nabi. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti Musthalah al-Hadits, ‘Ulum al-Rijal, al-Jarh wa al-Ta’dil, ‘Ulum Naqd al-matn dan sebagainya.
Oleh karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan keimanan ummat Islam pada Sunnah nabi SAW tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan.
Ijma’
Ijma’ adalah ;




“ Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid disuatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Alwaraqat fi Ushul al-Fiqh, Hal.44).
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Idris al-Qorafi (w 684 H / 1285 M) dalam kitab Tanqih al-fushul  fi al-Ushul (Hal. 82), dalil lain  yang menunjukkan keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT ;





“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang – orang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk – buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisa’: 115).
Para ulama’ membagi Ijma’ menjadi dua macam yakni :
1.    Ijma’ Shahih. Terjadi ketika para imam mujtahid menyampaikan pendapatnya. Dan ternyata pendapat mereka sama.
2.    Ijma’ Sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan tidak menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti setuju. (Abdul wahhab Khallaf, ilmu al-Ushul al-Fiqh, hal.23)


Qiyas
Al-Imam ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646 H / 1174 – 1249 M) menjelaskan definisi Qiyas sebagai berikut ;




“ Ibnu al-Hajib menyatakan, “ Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (Far’) kepada hukum ashal karena ada persamaan illat (sebab) hukumnya.” (al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, Hal.289).
Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul (hal.89), dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah firman Allah SWT ;



“ Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan.” (QS.al-Hasyr :2).
Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan pereintah untuk meninggalkan jual beli pada saat – saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al - Qur’an, yakni firman Allah SWT :




“ Wahai orang – oaring yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (shalat jum’at) da tinggalkanlah jual beli.” ( QS. Al-Jumu’ah:9).


III.    KESIMPULAN
    Berdasarkan pemaparan diatas, kita dapat memahami bahwa slogan sebagai kelompok “ Kembali kepada Qur’an dan Sunnah”, adalah sekedar klaim dan pengusung slogan tersebut agar mereka tampak sebagai kelompok yang paling Islami.padahal kenyataannya madzhab yang empat dan para pengikutnya menggunakan al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber hukum utama. Baru ketika tidak ditemukan nash tersurat maka di ijma’, qiyas dan methode istinbat yang lain.
    Kalau kita hanya terpaku hanya kepada teks al-Qur’an ataupun al-Sunnah saja kita tidak akan menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman narkoba, maka kemungkaran akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an maupun al-sunnah sebagi sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber- sumber yang lain seperti ijma’, qiyas dan lain sebagainya.


IV.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami tulis untuk memenuhi tugas ahir semester mata kuliah Ahli sunnah Wal jama’ah. Tentunya masih terdapat banyak kesalahan makalah kami ini yang karena keterbatasan kami, oleh karena itu sudilah Bapak Drs.H.Mudzakkir Ali, MA, selaku dosen pengampu mata kuliah ASWAJA tersebut untuk memberikan kritik, saran dan masukan demi sempurnanya makalah yang kami susun ini.

V.    REFERENSI
1.    Abdul wahhab Khallaf, ilmu al-Ushul al-Fiqh, Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, TT.
2.    Hadits Nabi SAW (Sahih al-Bukhori, Sahih al-Muslim).
3.    Ibn Katsir, al-Hafizh Abi al-Fida’ Ismail, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Beirut, Dar al- Ma’rifah, 1987.
4.     Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Istanbul, Maktabah al-Islamiyyah, TT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar