I. Pendahuluan
Pergeseran budaya dan tradisi manusia serta aspek mikro dan makronya adalah persoalan universal fikulli zamani wal makani. Tidak pelak, hukum Islam yang pernah dipraktekkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun mampu untuk menangkap sekaligus menjawab setiap perubahan adapt dan budaya. Hukum Islam adalah rujukan dari segala persoalan yang berkaitan dengan syari’at Islam. Dimanapun dan kapanpun serta oleh siapapun perubahan tentu terjadi. Dinamika tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata oleh hokum Islam karena hal tersebut memang merupakan adapt dan sunnatullah yang musti terjadi.
Oleh karenanya, hokum Islam selalu dinamis dalam keeksistensiannya selalu menjawab dengan jujur, tegas, adil dan bijaksana. Potensi yang telah dianugerahkan Allah SWt, merupakan bagian dari amanat yang musti ditasarrufkan. Disinilah letak fungsi dari pelaku Ijtihad, yakni Agent Of Change dalam arti yang sebenarnya.
Dalam makalah ini, kami akan berusaha memaparkan devinisi serta batasan – batasan dari ijtihad itu sendiri.
II. Pembahasan
1. Pengertian Ijtihad
Al-Imam al-Hafizh jalaluddin Abdurrohman Abu Bakar al-Suyuthi (849 - 910 H / 1445 – 1505 M) menjelaskan definisi Ijtihad sebagai berikut ;
“ Ijtihad adalah usaha seorang faqih (ahli Fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (Persumtif).” (al-Suyuthi, d-Kawkab al-Sathi’, Juz.II, Hal.479).
Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya ( daya pikir ) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas didalam al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan dalil – dalil umum (prinsip – prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya. Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah masih hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan ;
“ Diriwayatkan Mu’adz bin jabal RA, bahwa pada saat Rasulullah SAW mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memeutuskan suatu persoalan jika disodorkan sebuah masalah?“, Dia menjawab,“Saya memutuskan dengan kitabullah.” Nabi SAW bertanya, “Jika kamu tidak menemukan didalam kitabullah? “ , Mu’adz menjawab, “maka dengan sunnah Rasulullah SAW.“ Nabi SAW bertanya, “Jika kamu tidak menemukan didalam Sunnah?” Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang – wenang”. Lalu Mu’adz bertanya, Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya lalu bersabda, “Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah di ridloi Rasulullah SAW.” (HR. Ahmad [21000], Abu Dawud [3119] dan al-Daraini [168] ).
Begitupula saat ini proses ijtihad harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan teurs berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalamkonteks inilah imam al-Hafizh Taqiyyuddin ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi (625-703 H / 1235-1303 M) mengatakan ;
“Setiap masa tidak akan fakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau qiyamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Hal.67).
Hanya saja, karena sangat terkait dengan usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang benar – benar ahli dan telah memiliki syarat sebagi mujtahid. Sabda Nabi SAW ;
“ Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash,bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahal (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lau berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240], al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’I [5287] dan Ahmad [17148] ).
Selain menegaskan legalitas dalam Islam, hadits ini juga mengisayaratkan kriteria orang yang dapat berijtihad (mujtahid), bahwa ia haruslah seorang hakim (ahli hukum). Prof. KH. Syaifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-Hakim (pakar hukum), bukan kata al-Rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang pakar hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menemakan dirinya ahli hukum. (Prof.KH. Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, Hal.162).
Adapun syarat – syarat ijtihad adalah ;
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus faham ayat – ayat yang berkaitan dengan hukum. Termasuk didalamnya asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), nasikh-mansukh (ayat yang mengganti dan diganti), majmul-mubayyan (kalimat global dan parsial), al-‘am wa al khash (kalimat umum dan husus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samara) dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu tentang ilmu hadits Nabi SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab al-wurud (latar belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah para perawi hadits).
3. Menguasai persoalan – persoalan yang disepakati para ulama’ (ijma’).
4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.
5. Menguasai bahasa arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah – kaidah ushul al-Fiqh (secara memproduksi hukum).
6. Memahami serta mengayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan Islam adalah Rahmatan lil ‘Alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara Dharuriyyat (Primer / Pokok), Hajiyyat (skunder / pelengkap), dan Tahsiniyyat (Tersier / keindahan).
7. Mempunyai pemahaman serta methodology yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan kepuasan hukum.
8. Mempunyai niat serta aqidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Hal.380-389).
Dari pencapaian pada syarat ini, juga didasarkan pada kualitas individu setiap mujtahid, maka muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni :
1. Mujtahid Muthlaq / Mustaqil, seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath ( dalam menggali) hukum. Masuk dalam katagori ini adalah imam madzhab yang empat, yakni imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (80 – 150 H / 699-767 M) pendiri madzab Hanafi, imam Maliki bin Anas al-Ashbahi (93-179 H / 713-795 M) pendiri madzhab Maliki, imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-204 H/ 767-819 M) pendiri madzhab Syafi’I, dan imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164-241 H / 781-855 M) pendirir madzhab Hanbali.
2. Mujtahid Muntasib, yakni seseorang yang melakukan penggalian hukum dengan menggunakan methode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid Muthlaq). Seperti, imam al-Muzani dan imam Buwaithi dari madzhab Syafi’I, imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H / 750-805 M) dan imam Abu Yusuf (113-182 H / 731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan mujtahid muthlaq ghoir al-mustaqil (mujtahid muthlaq yang tidak mandiri).
3. Mujtahid Muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan – persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti imam al-Karkhi (w. 482 H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/ 1090 M), al-Bazdawi (w. 390 H/ 1004 M), Abi Ishaq al-Shirazi (393 – 476 H / 1003-1083 M) dan lain sebagainya.
4. Mujtahid madzhab / fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti methode dan cara istinbath hukum imamnya juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi pendapat imamnya, mana yang sahih dan yang lemah. Misalnya, imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i.
5. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemashlahatan masyarakatnya. Contoh mujtahid dalam tingkatan ini adalah imam al-Rafi’I (557-623 H/ 1162-1226 M) dan imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Hal.30. Dan Dr. Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, 1, 47-48 ).
VI. KESIMPULAN
Ijtihad merupakan cara yang harus ditempuh untuk menemukan hokum Islam tentang sesuatu yang belum jelas didalam nash dengan menggunakan dalil – dalil umum yang ada didalam al-Qur’an, hadits, ijma’ dan Qiyas. Seseorang dinyatakan sebagai Mujtahid apabila telah mampu memenuhi delapan criteria / syarat dari maqam Mujtahid itu sendiri.
Adapun tingkatan dari imam mujtahid itu ada lima;
1. Mujtahid Muthlaq,
2. Mujtahid Muntasib,
3. Mujtahid Muqayyad,
4. Mujtahid Fatwa, dan
5. Mujtahid Murajjih.
VII. PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami tulis untuk memenuhi tugas ahir semester mata kuliah Ahli sunnah Wal jama’ah. Tentunya masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah kami ini yang karena keterbatasan kemampuan kami, oleh karena itu sudilah Bapak Drs.H.Mudzakkir Ali, MA selaku dosen pengampu mata kuliah ASWAJA ini untuk memberikan kritik, saran dan masukan demi sempurnanya makalah kami ini.
VIII. REFERENSI
1. Al-Zuhaili, Dr, al-Fiqh al- Islam wa Adillatuh, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1992.
2. Al-Quyairi, al-hafizh, al-‘Id, Taqiyyuddin ibnu Daqiq, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Beirut Dar al-Fikr, 1972.
3. Ibn Katsir, al-Hafizh Abi al-Fida’ Ismail, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Beirut, Dar al- Ma’rifah, 1987.
4. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Istanbul, Maktabah al-Islamiyyah, TT.
5. Syaifuddin Zuhri, Prof.KH, Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, Surabaya, Khalista,1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar