Jumat, 30 November 2012

KONSEP ASWAJA TENTANG BID’AH


KONSEP ASWAJA TENTANG BID’AH

I.    PENDAHULUAN
Sebenarnya kata bid’ah telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, namun pada masa itu pula kata bid’ah tidak pernah dipersoalkan oleh para sahabat, apalagi sampai menjadi kudung untuk mengkafirkan sesame umat muslim. Yang menjadi pertanyaannya adalah “ apakah bid’ah yang pernah disampaikan Rasulullah itu sama maknanya dengan makna bid’ah yang digembar – gemborkan segelintir umat yang mengaku paling sunni, paling Islami”.
Oleh karena fenomena semacam itu, kami mencoba untuk mengangkat tema tentang bid’ah ala ASWAJA, yang dalil – dalinya kami sampaikan secara transparansi secara aqli dan naqli, moderat dan tidak memfonis. Hal ini kami sengaja munculkan karena melihat sikap yang mulai pesimistis kaum Islam Tradisionalis untuk mengungkap secara detail persoalan bid’ah.

II.    PEMBAHASAN
a.    Pemahaman Bid’ah
Al – Imam sulthanul Ulama’ Abu Muhammad Izzuddin Bin Abdissalam ( 577 – 660 H / 1181 – 1262 M) mengatakan :



“ Bid’ah adalah merngerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW “.(Qawa’id al- ahkam fi mashalih al-anam, Juz II, hal.172).
Cakupan Bid’ah itu sanagat luas sekali, meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi SAW. Oleh karena itulah sebagian besar ulama’ membagi bid’ah menjadi lima macam :

1.    Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal – hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghoh dan lain – lain. Sebab, hanya dengan ilmu – ilmu inilah seseorang dapat memahami Al – Qur’an dan hadist Nabi SAW secara sempurna.
2.    Bid’ah muharromah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’, seperti bid’ah paham Jabbariyyah, qodariyah dan murji’ah.
3.    Bid’ah Mandzubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa rosulullah SAW, misalnya shalat tarawih secara berjamaah sebulan penuh, mendirikan madrasah atau pesantren.
4.    Bid’ah Makruhah, yakni seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5.    Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. ( Qawaid al-ahkam Fi mashalih al-anam, Juz I, hal.173)
Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni:
1.    Bid’ah Hasanah. Yakni perbauiatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandzubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan sayyidina Umar bin al-Khatthab ra tentang berjamaah dalam shalat tarawih yang beliau laksanakan:


“ Sebaik – baik bid’ah adalah ini”.(yakni shalat tarawih dengan berjamaah).”(HR. al-Bukhori [1871] dan Malik, dalam al-Muwattha’[231] ).


2.    Bid’ah Sayyi’ah. Yakni perbuatan baru yang secara nyata bertentangan dengan ajaran islam. Dalam hal ini adalah bid’ah Muharramah dan Makruhah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi SAW:



“ Dari ‘Aisyah – Radliyallahu ‘Anha, ia berkata, “ Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.” ( HR. Muslim, [243] ).
Pembagian ini juga didasarkan pada sabda Nabi SAW :








“ dari Jarir Bin Abdillah, Rasululah SAW bersabda, “ siapa saja yang membuat sunnah yang baik ( sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang – orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa – dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa –dosa mereka “. ( HR. Muslim, [4830] ).

b.    Hadist tentang semua bid’ah adalah sesat.
Hadist yang dimasud adalah hadist Nabi SAW:







“ Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “ ingatlah, berhati – hatialah kalian, jangan sampai membuat hal – hal yang baru (yang bertentangan dengan ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal – hal yang baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat “. ( HR. Ibnu Majah [ 45 ] ).
    Dalam hadist ini, Nabi SAW menggunakan kata Kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata Kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun ada kalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT ;


“ Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” ( QS. Al – Anbiya’: 30 ).
    Walaupun ayat ini menggunakan kata Kullu, namun tidak berarti tidak semua benda yang ada didunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT ;


“ Dan Allah Swt menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” ( QS. Al-Rahman : 15).
    Contoh lain adalah firman Allah Swt ;



“ Karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap – tiap perahu.” ( QS. Al-Kahfi: 79 ).
    Ayat ini menjelaskan bahwa dihadapan Nabi Musa AS dan Nabi Hidlir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Hidlir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Hidlir AS tidak akan merusak bagian tertentu dan perahu yang mereka tumpangi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa Kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi sebagian raja.
    Demikian pula dengan hadist tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata Kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang dilarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bias dibuktikan, karena ternyata para  sahabat juga banyak melaksanmakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan Al – Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjamaah sebulan penuh di bulan Ramadlan, menambah bacaan dzikir dalam ibadah shalat, penambahan bacaan dalam talbiyah ketika menunaikan ibadah haji dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa rasulullah SAW.
    Kalau Kullu pada hadist itu diartikan  keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa kolektif ( bersama ). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang beriman dan diridloi oleh Allah SWT. Bahkan diantara mereka mendapat jaminan sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadist Nabi SAW itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata Kullu yang ada pada hadist itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.

III.    KESIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama, sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dihawatirkan akan menghancurkan sendi – sendi agama Islam. Sedangkan amaliah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya ummat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agam Islam akan selalu relefan disetiap waktu dan tempat ( shalih likulli zaman wa makan ).

IV.    PENUTUP
Demikian makalah yang telah kami tulis untuk memenuhi tugas ahir semester mata kuliah ASWAJA. Tentunya masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah kami ini, oleh karena itu sudilah Bapak Drs.H.Mudzakkir Ali, MA selaku dosen pengampu mata kuliah ASWAJA untuk memberikan kritik, saran dan masukan demi sempurnanya makalah kami ini.

V.    REFERENSI
1.    Al-Qur’anul Karim
2.    Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam, Al-imam, Qawa’id al-ahkam fi mashalih al-anam, Beirut, Maktabah al-Syab’iyyah,TT.
3.    Al-Anshari, Ismail bin Muhammad, Tashih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah, Beirut, Dar al-Fikr, 1972.
4.    Ibn Katsir, al-Hafidz Abi al-Fida’ Ismail, Tafsir al-Qur’an al- Azhim,Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar