Jumat, 30 November 2012

Sejarah dan Perkembangan "TAREKAT KHALWATIYAH" [3]



Ritual dan Ajaran Khalwatiyah.

Ajaran tarekat sufi yang disampaikan oleh Musthafa Ibnu Kamal al-Din al-Bakri banyak diambil dari sang guru, Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Berbagai ritual yang dijalankan oleh Syekh Abdul Latif telah memberi pengaruh pada pemikiran atau pun praktek kehidupan al-Bakri sehari-hari. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, tiga unsur dalam ajaran al-Bakri-lah yang barangkali turut memberi andil dalam menghidupkan kembali Tarekat Khalwatiyah. Ketiga unsur tersebut adalah:
1. Tuntutan kepatuhan yang ekslusif pada tarekat dan disiplin yang ketat dalam menjalankan amalan Khalwatiyah.
2. Partisipasi orang awam dalam ritual tarekat.
3. Ketaatan pada syari'ah. Sebagai tarekat yang berorientasi pada syari'ah.

Khalwatiyah menekankan penggabungan pengetahuan ['ilm] dan praktek ['amal]. Ia juga menuntut pengikatan hati [rabth al-qalb] seorang murid kepada guru [syekh] sedemikian rupa sehingga hubungan antara keduanya harus lebih erat dari pada hubungan antara seorang ayah dan anak. Selain melakukan khalwah [mengasingkan diri], berbagai amalan praktis lainnya yang diajarkan dalam Khalwatiyah adalah:
- Berdiam diri [shamt],
- Menjaga diri [sahar],
- Mengingat Allah Subhanahu wata'ala [dzikir],
- Dan membaca secara berjamaah [wirid al-Sattar].

Wirid ini merupakan pusat dan puncak ritual Khalwatiyah. Seperti tarekat sufi lainnya, Tarekat Khalwatiyah juga mengenal sebuah amalan al-Asma' as-Sab'ah [tujuh nama]. Yakni, tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus di baca oleh setiap murid [salik].
- Dzikir pertama adalah La Ilaaha Illallah [pengakuan, bahwa tiada Tuhan selain Allah Subhanahu wata'ala]. Dzikir pada tingkat pertama ini disebut an-Nafs al-Ammarah [nafsu yang bermuara pada keburukan dan amarah]. Jiwa pada tingkatan ini dianggap sebagai jiwa yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat, seperti mencuri [merampok-korupsi], berzina, membunuh, dan lain-lain.
- Kedua. Dzikir pada Allah Subhanahu wata'ala, Pada tingkatan kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah [jiwa yang menegur]. Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya serta menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar