Jumat, 30 November 2012

TAREKAT ALAWIYYAH



BISMILLAHI AR-RAHMANI AR-RAHIM

Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu misalnya, terletak dari prakteknya yang tidak menekankan segi-segi riyadhah [olah rohani] dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktekkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya yakni:
- Al-Lathif
- Ratib Al-Haddad.
Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadhah qulub 'olah hati dan bathiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadhah al-'abdan 'olah fisik'].

Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu Tarekat mu'tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara [termasuk Indonesia].

Tarekat Alawiyyah ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Nama lengkapnya:
Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Beliau seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramaut pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah di kenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama ''Alawiyyah'' berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih di kenal sebagai saadah atau kaum sayyid - keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam - yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid [kaum Hadhrami], atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.

Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memililiki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu di bai'at atau di talqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain bahwa ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak [tasawuf, 'amali, akhlaqi]. Sementara dalam tarekat lain biasanya cenderung melibatkan secara fisik dan kezuhudan ketat. Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad -Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui- tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni:
- Tarekat Aidarusiyyah
- Tarekat Aththahisiyyah.

BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN ISA AL-MUHAJIR

Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir, selanjutnya di sebut dengan panggilan Imam Ahmad adalah keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 Hijriyah. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan pengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi derjatnya [dalam hal keadaan rohaniah seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah]. Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas kerohanian dan sosialnya. Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tidak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kezaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tidak kondusif di Basrah, pada tahun 317 Hijriyah Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijra ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, imam Ahmad ditemani oleh isterinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putera terkecilnya Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tidak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 Hijriyah, Makkah mendapat serangan sengit dari kaum Qarmithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka'bah. Sehingga pada tahun 318 Hijriyah, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.

AWAL PERKEMBANGAN TAREKAT ALAWIYYAH

Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah di mulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang lebih akrab di kenal dan di panggil al-Faqih al-Muqaddam [seorang ahli agama terpandang], pada abad ke-6 dan ke-7 Hrjriyah, pada masa itu kota Hadhramaut lebih di kenal dan mencapai puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang mempunyai kelebihan di bidang agama secara mumpuni di antaranya dalam soal fiqh dan tasawuf. Di samping itu ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke maqam al-Quthbiyyah [puncak maqam kaum sufi] maupun khirqah shufiyyah [legalitas kesufian]. Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: "Pada suatu hari al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci".

Pada hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada dihadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan ekstase [fana] seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya:

"Segala sesuatu yang mempunya nafs [roh] akan merasakan mati".

Dia mengatakan: "Aku tidak mempunyai nafs".

Dikatakan lagi: "Semua yang ada di atas dunia akan musnah".

Dia menjawab: "Aku tidak berada diatasnya".

Dia mengatakan lagi: "Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya [Dia]".

Dia menjawab: "Aku bagian dari Cahaya Wajah-Nya".

Setelah keadaan ekstase [fana']-nya berlangsung lama, lalu para puteranya memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya mereka semua mamaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk, mereka mendengar suara [khatif]: "Kalian telah bosan kepadanya, sedang Kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian".

Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh. Diantaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu:

1. Syekh Abdu al-Rahman al-Saqqaf, tahun 739 Hijriyah.

2. Syekh Umar al-Muhdhar bin Abdu al-Rahman al-Saqqaf, tahun 833 Hijriyah.

3. Syekh Abdullah al-'Aidarus bin Abu Bakar bin Abdu al-Rahman al-Saqqaf, tahun 880 Hijriah.

4. Syekh Abu Bakar al-Sakran, tahun 821 Hijriyah.

Selama masa para syekh, dalam sejarah Ba Alawi dikemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini dapat di lihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para Imam hingga masa syekh di Hadhramaut.

Pertama: Adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, keterikan siklus sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat Rasulullah kepada Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Kedua: Adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.

Ketiga: Berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash [elite], seperti al-jam'u, al-farq, al-fana' bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami Muhammad bin Ali [al-Faqih al-Muqaddam] dan syekh Abdu al-Rahman al-Saqqaf.

Keempat: Dalam Tarekat Alawiyyah berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah [suatu mazhab kesufian yang dilakukan oleh tokoh seorang sufi] hingga mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.

Kelima: Bila pada para tokoh sufi, seperti:

- Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya.

- Rabi'ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan al-Isyq al-Ilahi-nya.

- Abu Yazid al-Busthami dengan fana'-nya.

- Al-Hallaj dengan wahdah al-wujudnya.

Maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya.

Al-Khumul: Berarti membebaskan seseorang dari sifat riya' dan ujub dan juga merupakan bagian dari zuhud.

- Al-Faqru: Adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diri seseorang sebagai hamba dihadapan khaliq sebagai Dzat yang Ghani [Maha Kaya] dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Allah, akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadikan kehidupan mereka tidak dapat dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas [al-mustadh'afin].

Syekh Abdu al-Rahman al-Saqqaf, misalnya selama itu di kenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan isteri Muhammad bin Ali terkenal dengan ummul fuqara-nya.

SYEKH ABDULLAH AL-HADDAD DAN TAREKAT ALAWIYYAH

Nama lengkapnya:
Syekh Abdullah bin Alawi al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini dimasa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim Hadhramaut pada 5 Syafar 1044 Hijriyah. Ayahnya Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, terkenal sebagai seorang yang shaleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma seorang ahli ma'rifat dan walayah [kewalian]. Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu diantaranya, ia telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan mejaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi.

Dalam hal suluk al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian:

Pertama: Kelompok Khashshah [khusus], yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat mujahadah, mengosongkan diri baik lahir maupun bathin dari selain Allah di samping membersihkan diri segala budi pekerti yang tidak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji.

Kedua: Kelompok 'Ammah [umum], yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat 'ammah atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.

Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh [mursyid], perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina bathin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini sangat ditekankan, untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup adalah safar [perjalanan menuju Tuhan]. Safar adalah siyahah ruhaniyah [perjalanan rekreatif yang bersifat rohani], perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal:

Pertama: Ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi.

Kedua: Sikap wara' yang bisa mencegahnya dari perbuatan haram.

Ketiga: Semangat yang menopangnya.

Keempat: Moralitas yang baik dan menjaganya.
Wallahu A'lam.

Sumber: ROL Versi Tasawuf
http://boegis.heck.in

Tidak ada komentar:

Posting Komentar