Jumat, 30 November 2012

PERSOALAN THARIQAT, TAWASSUL, HIZIB DAN AZIMAT


PERSOALAN  TENTANG
THARIQAT, TAWASSUL, HIZIB DAN AZIMAT

I.    PENDAHULUAN
Sudah  tidak asing bagi kita, ritual keIslaman yang sampai sekarang ini menjadi polemic dan pro kontra antara Islam Modern dan Islam Tradisional. Terlepas dari sudut pandang mana, polemic ini dalam kenyataannya selalu menjadi pemicu pemisah antara kedua golongan Islam yang keduanya mengklaim Islam Ahli Sunnah.
Fenomena tersebut sangat jelas nampak pada Islam Indonesia pada hususnya, NU di pihak Tradisonalis, dan MD di pihak Modernis. Dan sampai sekarang hal itu belum pernah menemukan titik temu.
Wajar hal ini terjadi, karena sudut pandang dan metode pemahaman tentang sumber hokum yang berbeda sehingga menghasilkan produk hokum yang berbeda pula.
Dalam hal ini kami mencoba untuk membuka wacana itu kembali, dengan mengangkat sebuah tema Thariqat, Tawassul, Hizib dan Azimat. Yang kami tuangkan secara lugas, transparan dan terlepas dari pemarginalan golongan tertentu.

II.    PEMBAHASAN
1.    Mengikuti Thariqat
Secara bahasa tariqat berarti jalan, cara, metode, system, madzhab, aliran dan haluan. Sedangkan dalam ilmu tashawwuf, thariqat adalah perjalanan seseorang menuju Allah SWt dengan cara mensucikan diri. Syaikh Amin al-Kurdi mengatakan:




“Thariqat adalah mengamalkan syari’at dan menghayati inti syari’at itu, serta menjauhkan hal – hal yang bisa melalaikan pelaksanaan semua inti dan tujuan syari’at itu.”  (Tanwir al-Qulub, hal. 364).
Al-Hafizh Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani menjelaskan bahwa sumber utama thariqat adalah wahyu. Termasuk ajaran yang terdapat di dalam agama Nabi SAW. Karena pada hakikatnya thariqat tidak lepas dari pengalaman tiga sendi Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini thariqat masuk pada kategori Ihsan. Karena Islam  berbicara ketaatan dan ibadah, Iman berbicara petunjuk dan aqidah, Ihsan adalah maqam muraqabah dan musyahadah (pendekatan diri dan penyaksian keagungan Allah SWT) yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW, “Engkau menyembah Allah SWT seakan – akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dialah yang melihatmu”. (Al-Intishar fi Thariq al-Shufiyyah, hal.6)
Dari sini, mengamalkan thariqat merupakan sesuatu yang penting untuk mencapai tingkat keislaman yang sempurna sebagaimana disebutkan didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Mengenai tata cara dan pelaksanaannya, ulama telah membuat panduan yang disarikan dari al-Qur’an dan al-Hadits Nabi. Hal ini dapat dirujuk misalnya dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, kitab Tanwir al-Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi dan lain sebagainya.

2.    Tawassul dengan Hamba pilihan Allah SWT
Al-Syaikh Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang – orang yang shaleh ialah menjadikan mereka sebagi sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SAT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan do’a). Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya sebagai penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT menciptakan memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al- Shadiq, hal.53-54).
Ada beberapa dalil yang merupakan penjelasan keutamaan tawassul. Diantaranya adalah firman Allah SWT:




“ Hai orang – orang yang beriman, bertaqwalah kepadaAllah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT. Berjihadlah kamu dijalan-Nya, mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan”. (QS. Al-Ma’idah: 35).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman :



“ jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (dosa), lalu mereka datang kepadamu (hai Muhammad) dan meminta ampun kepada Allah SWT, kemudian Rasul memohonkan ampun untuk mereka, tentulah Allah SWT  Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan taubat mereka” (QS.al-Nisa’,64).
Sahabat Umar ra, ketika melakukan shalat istisqa’ juga melakukan tawassul








“ Dari  Anas bin Malik ra beliau berkata,”Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin al-Khaththab ra bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa,”Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan’. Anas berkata, ”maka turunlah hujan kepada kami.” (HR.al-Bukhari [954] ).
Menyikapi tawassul sahabat  Umar bin al-Khaththab ra tersebut, sahabat Abbas ra kemudian berdoa;





“Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu…………diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.”(al-Tahdzir min al-Ightirar, hal.125).
Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikatnya tawassul yangdilakukan Sayyidina Umar ra dengan Sayyidina Abbas ra merupakan tawassul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat), diseababkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan krena kedukukannya disisi Nabi .
Memang dihadapan Allah SWT, semua manusia mempunyai kedudukan sama, semasa hidup ataupun setelah wafat. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang saleh atau para syuhada itu tetap hidup disisi Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur didalam tanah. Sebagiman firman Allah SWT:





“ Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali ‘Imran:169).
Memang kalau direnungkan dengan sekasama, manusia itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam ungkapan sehari- hari, kita sering mendengar kata-kata berobatlah agarsembuh, berolah ragalah agarn sehat, makanlah agar kenyang, belajarlah agar pandai. Padahal hakikatnya yang menyembuhkan, menyehatkan, mengenyangkan, memintarkan hanyalah Allah SWTsemata. Jika terbesit di dalam hati bahwa yang menetukan sesuatu itu bukan Allah SWT, padasaat itu telah terjadi perbuatan syirik.
Maka begitu pula dalam masalah tawassul ini. Pada hakikatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagi perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera dikabulkan.

3.    Amalan, Hizib dan Azimat
Mengamalkan do’a – do’a, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT melalui amalan itu. Jadi, sebenarnya membaca hizib dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:



“Bedoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS.al-Mu’min;60).
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:






“Dari Awf bin Malik al-Asyja’I ra, ia meriwayatkan bahwa pada zaman jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan azimat itu kepadaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama didalamnya tidak terkandung kesyirikan,” (HR. Muslim [4079] ).
Dalam al-Thibb al-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
“dari abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah “Aku berlindung dengan kalimat – kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan sikasaan –Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak – anaknya yang baligh, sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. “ (Al-Thibb al-Nabawi, hal.167).
Dengan demikian , hizib, dan azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam.





“Dari Abdullah ra ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hizb, azimat dan pellet, (yang digunakan untuk kejahatan) adalah perbuatan syirik.” ( HR.Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar serta ulama lain mengatakan:
“ Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung al-Qur’an atau semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil berkah serta minta perlindungan dengan Asma Allah SWT, atau brdzikir kepada-Nya.” (Faidh al-Qadir, Juz 6, hal. 180-181).
Inilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan hizib serta azimat. Karena itulah para salaf al-sahalih semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah membuat azimat.
Namun tidak semua azimat dan hizib itu dibenarkan secara syara’, setidaknya haruslah memuat tiga criteria sebagai berikut:
1.    Harus menggunakan kalam Allah SWT, sifat Allah, Asma Allah ataupun sabda Rasulullah SAW.
2.    Menggunakan kalimat arab atau bahasa lain yang dapat difahami makna dan artinya.
3.    tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapaun, tapi hanya karena taqdir Allah SWT semata. Sedangkan do’a dan azimat itu hany sebagio salah satu sebab saja.



III.    KESIMPULAN
1.    Tariqat, adalah suatu usaha, jalan, cara dan metode untuk mengamalkan serta menghayati syariat, menjauhkan hal – hal yang bias melalaikan pelaksanaan semua inti dan tujuan syariat itu.
2.    Tariqat bukanlah suatu bid’ah.
3.    Tawassul adalah merupakan suatu metode perantara dalam berdoa, sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab ra, dan hal ini tentunya menjadi tradisi sahabat – sahabat yang lain, akhirnya sampailah kepada kita sekarang.
4.    Tawassul juga tidaklah suatu bid’ah yang dilarang oleh agama, justru dianjurkan oleh agama.
5.    penggunaan hizib, pembuatan azimat dan pemakaiannya haruslah melalui prosedur yang telah ditentukan oleh syara’, supaya hal tersebut tiodak menjadikan si pelaku dalam kesesatan, bahkan kesyirikan.

VI.    PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, tentunya makalah ini masih banyak kekeliruan serta kesalahan, oleh karenanya sudilah Bapak Drs. H. Mudzakkir Ali, MA selaku pengampu mata kuliah ASWAJA untuk sudi memberikan kritik serta saran kepada kami guna sempurnanya makalah kami ini. Serta terimakasih yang tiada terhingga kami haturkan kepada Bapak dosen atas ilmu yang telah diberikan kepada kami, semoga Allah SWT senantiasa merahmati serta membalas amal Bapak dengan Jaza’ yang berlipat, amin.

V.    REFERENSI
1.    Al- Qur’anul Karim
2.    Al-Jilani, Syaikh Abdul Qadir, Al-Ghunyah li Thalibi Tariq al-Haqq,Beirut, Maktabah al-Syab’iyyah,TT.
3.    Asy’ari, Syekh Muhammad Hasyim, Ziyadat Ta’liqat, Jombang, Maktabah al-Turats al-Islami,TT.
4.    Ibn Katsir, al-Hafidz Abi al-Fida’ Ismail, Tafsir al-Qur’an al- Azhim,Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1987.
5.    Siddiq, KH Ahmad, Khittah Nahdhiyyah, Surabaya, Khalista.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar