Jumat, 30 November 2012

Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah [1]





Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim [meskipun sedikit di antara orang-orang Arab] serta Turki, Bosnia Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani [Pembaru Milenium kedua, wafat 1624 M]. Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sama dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.

Ciri-ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah:

- Diikutinya syari'ah secara ketat.

- Keseriusan dalam beribadah.

- Menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari.

- Lebih mengutamakan berdzikir dalam hati.

- Kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik [meskipun tidak konsisten].

Sejarah kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali [Syekh Abdullah Dihlavi, wafat 1824 M], karena pada awal abad ke-19, India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah [pondok] milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap ada [pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857 M]. Namun fungsi Pan-Islam-nya sebagian besar diwarisi oleh pada wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang penting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada tahun 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi.

Demikianlah, Muhammad Jan al-Makki [wafat tahun 1852], wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa'id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa'id, Syekh Ahmad Sa'id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah Naqsyabandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa'id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Makkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki, Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebenciaan, yang umumnya ditujukan kepada ulama pribumi terhadap orang non Arab dalam masyarakat mereka. Sebagai guru fiqh Syafi'i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-murid Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara.

Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini. Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Baghdadi [wafat tahun 1827]. Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehingga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang di pandang sebagai "Pemburu" [Mujaddid] Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi di pandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah [petautan] atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari'at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa.

Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup. Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pada tahun 1776 M, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada tahun 1881 M, dengan ''wewenang lengkap dan mutlak'' sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk ''mencari dunia ini demi agama'', dari tiga tempat tinggalnya setelah itu, Sulaimaniyah, Baghdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas terbatas geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan ''Utsmaniyah'', tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, al-Islam masa itu ke dalam, tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil. Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan Utsmaniyah pada masa pemerintahan Abdul Hamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi [wafat tahun 1893 M]. Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Abdul Hamid sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhammad As'ad dari Ibril wilayah Irak Utara.

Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak, di kampung halamannya Kurdistan. Cabang Naqsyabandiyah yang ia perkenalkan di sana memudarkan pengaruh "Qadiriyah" yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan. Dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan Naqsabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme, pertama terlihat pada pemberontakan Kurdistan pada tahun 1880 Masehi yang di pimpin oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri untuk sementara. Sebagian besar orang Kurdistan Iran, dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsyabandiyah yang diwarisinya. Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan wilayah pegunungan yang terletak di Kaukasus dan Rusia Selatan. Wilayah ini pertama kali diperkenalkan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandiyah, semasa Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah pengganti hukum-kebiasaan [cotumary law] non Islam menjadi syari'ah dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada tahun 1832 M, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga tahun 1859 M, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang pertama dan terkenal.

Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata sulit dicabut, kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan tahun 1877 di Daghestan dan Chechnia yang berjaya dalam rentang waktu antara runtuhnya Tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Uni Soviet. Wilayah populasi muslim lain yang di perintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah, ialah Volga Ural [sekarang Tatarstan dan Baskira]. Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki [Erzincani], menerima seorang murid dari Kazan, Fatsullah Menavusi; namun pengaruhnya yang terbukti menentukan adalah pengikut Gumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis Mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaannya kepada Gumushaveni, setelah berkunjung ke Istambul pada tahun 1870. Ketika kembali dia memprogandakan Khalidiyah, sehingga membangkitkan permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian dibebaskan pada tahun 1881 M, dia memperkokoh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid dibawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar di Volga Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada tahun 1917, disebut sebagai "raja spiritual rakyatnya", dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap bergaung sampai priode Soviet: tiga kepala Direktoral Spiritual untuk kaum Muslim Rusia, Eropa dan Siberia yang berfungsi dibawah pengawasan Soviet, adalah murid-murid Rusalev. Akhirnya Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di dunia Melayu Indonesia.

Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah lama tinggal di Makkah, Ismail Minangkabawi kembali ke Indonesia dan menetap di Penyengat wilayah kepulaun Riau. Di sana ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammda Mazhhar. Ia juga pergi ke Melayu hingga Kedah, memprogandakan Khalidiyah kemanapun ia pergi, namun usahanya merupakan, digantikan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah, yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil daripada pesaingnya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal di pandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah diberbagai tempat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan [wafat tahun 1926]. Beliau di kirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi menyebarkan Khalidiyah diseluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang, misi yang dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari Pesantrennya di Bab Al-Salam, Langkat, beliau tinggal menetap selama tiga tahun di Johor dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh hingga semenanjung Malaya. Praktek Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia, sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dalam waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal-usul praktek ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar